Seorang nenek dari Suku Dayak Punan, Kalimantan Timur tiba- tiba menghilang di sebuah hutan. Dan keluarganya sangat yakin bahwa sang nenek yang mereka cintai sudah berubah wujud menjadis eekor kodok.Kisah ini terjadi sekitar seratusan tahun yang lalu dan kini menjadi legenda yang sangat masyur di kalangan suku Dayak Punan. Dan menariknya kisah ini bukan sekedar cerita dongeng belaka, melainkan berdasarkan sebuah kenyataan. Hal ini diungkapakan oleh Wakil Ketua Persekutuan Lembaga Adat Dayak Punan, Dollop Mamung. Dollop yang juga merupakan warag asli suku Dayak Punan mengaku kenal baik dengan salah seorang cucu generasi kedua Adu' oroh, nenek yang berubah menjadi kodok tersebut. "Waktu itu, sekelompok keluarga hidup di sekitar hutan Marut. Mereka tidak berladang, tetapi hidup secara mubut. Artinya, hidup berpindah-pindah untuk berburu dan meramu," ucap Dollop memulai kisahnya.
Dalam kelompok kecil orang-orang Punan itu, ada seorang nenek renta atau adu' oroh dalam bahasa lokal. Saking rentanya, setiap kali kelompok itu berpindah tempat, adu' oroh digendong di punggung menggunakan kalong.
Kalong merupakan alat semacam keranjang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai wadah hasil meramu. Suatu hari, adu' oroh meminta dirinya ditinggalkan saja di sebuah pondok.
"Adu' oroh kasihan dengan anak-cucunya yang kerepotan harus selalu menggendong dia. Tentu saja keluarganya menolak, tapi dia terus mendesak," kata Dollop.
Dengan terpaksa, anak-cucunya meninggalkan nenek itu di sebuah pondok. Namun, mereka selalu menjenguknya setiap usai mubut. "Tiga hari kemudian, ketika dijenguk, adu' oroh masih ada di pondok itu. Sepekan dan dua pekan, juga masih ada. Nah, sebulan kemudian, tiba-tiba saja adu' oroh lenyap," kata Dollop yang mendapatkan kisah ini dari cucu generasi kedua adu' oroh bernama Jonidy Apan (40) yang kini menjadi Kepala Adat Punan Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Para anak-cucunya pun gempar dan segera mencari di sekitar pondok. Sosok renta yang sangat mereka cintai itu tak kunjung ditemukan.
"Sampai di bebatuan di pinggir Sungai Magong, mereka melihat selembar berat, yakni tikar khas Punan dari rotan. Di atas berat itu ada seekor ja'ui atau kodok besar," ujar Dollop yang juga mantan Ketua Harian Yayasan Adat Punan (YAP) ini.
Memang, ja'ui yang rata-rata bisa mencapai seberat 1 kilogram itu umum ditemukan di hutan sekitar. Tapi, kodok besar yang satu ini aneh dan istimewa.
Dia bisa berkata-kata layaknya manusia. Kodok besar itu duduk sambil menangis di atas tikar rotan yang terhampar di bebatuan tersebut.
"Jangan mencari saya. Inilah saya, adu' oroh kalian. Saya tidak apa-apa, jangan kalian risau," begitu ucapan sang kodok kepada sanak keluarga yang panik mencari dirinya.
Sang nenek berpesan agar anak-cucunya menjaga hutan itu dari kerusakan. Itu sebabnya, masyarakat Punan di situ tak melakukan pola berladang.
Hingga saat ini, masih ada komunitas Dayak Punan yang tinggal di sana dan tetap hidup dengan cara mubut. Lokasi itu persisnya di hutan Marut, Sungai Blusuh, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Ada satu lagi bukti yang semakin memperkuat bahwa sang nenek memang menjadi kodok dan masih di hutan tersebut, buktinya setiap surveyor yang pergi ke hutan tersebut kebanyakan hilang tanpa jejak. Konon ini karena Adu' oroh tidak suka ada yang menjamah hutan.
Sumber: Kompas
Dalam kelompok kecil orang-orang Punan itu, ada seorang nenek renta atau adu' oroh dalam bahasa lokal. Saking rentanya, setiap kali kelompok itu berpindah tempat, adu' oroh digendong di punggung menggunakan kalong.
Kalong merupakan alat semacam keranjang terbuat dari rotan yang digunakan sebagai wadah hasil meramu. Suatu hari, adu' oroh meminta dirinya ditinggalkan saja di sebuah pondok.
"Adu' oroh kasihan dengan anak-cucunya yang kerepotan harus selalu menggendong dia. Tentu saja keluarganya menolak, tapi dia terus mendesak," kata Dollop.
Dengan terpaksa, anak-cucunya meninggalkan nenek itu di sebuah pondok. Namun, mereka selalu menjenguknya setiap usai mubut. "Tiga hari kemudian, ketika dijenguk, adu' oroh masih ada di pondok itu. Sepekan dan dua pekan, juga masih ada. Nah, sebulan kemudian, tiba-tiba saja adu' oroh lenyap," kata Dollop yang mendapatkan kisah ini dari cucu generasi kedua adu' oroh bernama Jonidy Apan (40) yang kini menjadi Kepala Adat Punan Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Para anak-cucunya pun gempar dan segera mencari di sekitar pondok. Sosok renta yang sangat mereka cintai itu tak kunjung ditemukan.
"Sampai di bebatuan di pinggir Sungai Magong, mereka melihat selembar berat, yakni tikar khas Punan dari rotan. Di atas berat itu ada seekor ja'ui atau kodok besar," ujar Dollop yang juga mantan Ketua Harian Yayasan Adat Punan (YAP) ini.
Memang, ja'ui yang rata-rata bisa mencapai seberat 1 kilogram itu umum ditemukan di hutan sekitar. Tapi, kodok besar yang satu ini aneh dan istimewa.
Dia bisa berkata-kata layaknya manusia. Kodok besar itu duduk sambil menangis di atas tikar rotan yang terhampar di bebatuan tersebut.
"Jangan mencari saya. Inilah saya, adu' oroh kalian. Saya tidak apa-apa, jangan kalian risau," begitu ucapan sang kodok kepada sanak keluarga yang panik mencari dirinya.
Sang nenek berpesan agar anak-cucunya menjaga hutan itu dari kerusakan. Itu sebabnya, masyarakat Punan di situ tak melakukan pola berladang.
Hingga saat ini, masih ada komunitas Dayak Punan yang tinggal di sana dan tetap hidup dengan cara mubut. Lokasi itu persisnya di hutan Marut, Sungai Blusuh, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Ada satu lagi bukti yang semakin memperkuat bahwa sang nenek memang menjadi kodok dan masih di hutan tersebut, buktinya setiap surveyor yang pergi ke hutan tersebut kebanyakan hilang tanpa jejak. Konon ini karena Adu' oroh tidak suka ada yang menjamah hutan.
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar